Oleh Ustadz Makmun Nawawi
Khalifah Umar bin Khattab ra bila berjalan di lorong-lorong Kota Madinah dan melihat anak kecil, beliau segera menemuinya dan membungkuk, seraya berujar, "Nak, mintalah pada Allah, agar mengampuni kami." Para sahabat Umar pun heran dengannya dan bertanya, "Engkau meminta pada anak kecil agar ia berdoa pada Allah untukmu?" Jawab Amirul Mukminin itu, "Mereka belum balig dan catatan amal belum berlaku padanya, maka doanya mustajab di sisi Allah. Sedangkan kita sudah dewasa dan catatan amal sudah ada pada kita."
Itulah ekspresi ketakutan pada Allah yang menyergap sang Khalifah kedua ini, seorang yang tegap dan gagah perkasa, namun kecemasannya pada Allah sungguh mengundang decak kagum, seolah tak pantas dengan postur tubuhnya yang tinggi; konon di wajahnya ada dua garis hitam bekas aliran air mata (takut pada-Nya).
Ketika Umar bin Khattab membaca surah at-Takwir ayat 1, yang artinya "Apabila matahari digulung," hingga ayat 10 "Dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka," beliau tersungkur, pingsan. Suatu saat, Amirul Mukminin ini melewati rumah seseorang yang tengah shalat dan membaca surah ath-Thur. Beliau berhenti seraya menyimaknya, dan begitu sampai pada ayat 7-8, "Sesungguhnya azab Rabbmu pasti terjadi, tidak seorang pun yang dapat menolaknya," beliau pun turun dari himarnya, lalu bersandar di dinding, dan diam tercenung beberapa saat. Dan sepulangnya di rumahnya, Umar sakit sebulan lamanya. Orang-orang menjenguknya dan mereka tak tahu apa yang dikeluhkannya.
Getar kecemasan semacam ini sesungguhnya hanya serpihan kecil di antara mutu manikam pesona akhlak yang melekat dalam diri sahabat, tabiin, dan orang-orang salih dulu kala. Dan, hal itu sangat fungsional sekali dalam melahirkan pribadi-pribadi yang berkarakter ideal, yakni intens beribadah dan produktif dalam melakukan amal salih lainnya, serta bisa meredam diri dari tindak-tanduk yang menyimpang.
Dengan demikian, ketakutan (khauf) penting dimiliki oleh seorang Muslim, karena Abu Hafs- sufi kelahiran Uzbekistan- berujar, "Khauf adalah pelita hati, dengan khauf akan tampak baik dan buruk hati seseorang." Sementara Alquran mengingatkan, "Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (Ali Imran: 175). Dalam ayat lain, Allah menjelaskan karakter orang Mukmin dengan, "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka menyeru kepada Rabb mereka dengan penuh rasa takut (khauf) dan harap." (QS as-Sajdah: 16).
Dalam banyak ayat-Nya, Allah bukan hanya memerintahkan agar takut, tapi juga sering melukiskan berbagai hal yang seyogiannya membuahkan ketakutan pada hamba, misalnya, ketika menjelaskan tentang neraka jahanam, huru-hara kiamat, atau musibah umat yang lalu. Beda dengan kaum salafus salih dulu kala yang gampang terketuk, tergores, bahkan terguncang hatinya dengan menyimak Alquran, manusia sekarang mungkin perlu melihat secara nyata bagaimana kekuasaan Allah itu tampil di muka bumi ini, sehingga berbagai musibah dan bencana pun datang silih berganti. Lantas, masih enggankah kita mengambil pelajaran? Wallahu a'lam bish-shawab.
(Republika.co.id)
Khalifah Umar bin Khattab ra bila berjalan di lorong-lorong Kota Madinah dan melihat anak kecil, beliau segera menemuinya dan membungkuk, seraya berujar, "Nak, mintalah pada Allah, agar mengampuni kami." Para sahabat Umar pun heran dengannya dan bertanya, "Engkau meminta pada anak kecil agar ia berdoa pada Allah untukmu?" Jawab Amirul Mukminin itu, "Mereka belum balig dan catatan amal belum berlaku padanya, maka doanya mustajab di sisi Allah. Sedangkan kita sudah dewasa dan catatan amal sudah ada pada kita."
Itulah ekspresi ketakutan pada Allah yang menyergap sang Khalifah kedua ini, seorang yang tegap dan gagah perkasa, namun kecemasannya pada Allah sungguh mengundang decak kagum, seolah tak pantas dengan postur tubuhnya yang tinggi; konon di wajahnya ada dua garis hitam bekas aliran air mata (takut pada-Nya).
Ketika Umar bin Khattab membaca surah at-Takwir ayat 1, yang artinya "Apabila matahari digulung," hingga ayat 10 "Dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka," beliau tersungkur, pingsan. Suatu saat, Amirul Mukminin ini melewati rumah seseorang yang tengah shalat dan membaca surah ath-Thur. Beliau berhenti seraya menyimaknya, dan begitu sampai pada ayat 7-8, "Sesungguhnya azab Rabbmu pasti terjadi, tidak seorang pun yang dapat menolaknya," beliau pun turun dari himarnya, lalu bersandar di dinding, dan diam tercenung beberapa saat. Dan sepulangnya di rumahnya, Umar sakit sebulan lamanya. Orang-orang menjenguknya dan mereka tak tahu apa yang dikeluhkannya.
Getar kecemasan semacam ini sesungguhnya hanya serpihan kecil di antara mutu manikam pesona akhlak yang melekat dalam diri sahabat, tabiin, dan orang-orang salih dulu kala. Dan, hal itu sangat fungsional sekali dalam melahirkan pribadi-pribadi yang berkarakter ideal, yakni intens beribadah dan produktif dalam melakukan amal salih lainnya, serta bisa meredam diri dari tindak-tanduk yang menyimpang.
Dengan demikian, ketakutan (khauf) penting dimiliki oleh seorang Muslim, karena Abu Hafs- sufi kelahiran Uzbekistan- berujar, "Khauf adalah pelita hati, dengan khauf akan tampak baik dan buruk hati seseorang." Sementara Alquran mengingatkan, "Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (Ali Imran: 175). Dalam ayat lain, Allah menjelaskan karakter orang Mukmin dengan, "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka menyeru kepada Rabb mereka dengan penuh rasa takut (khauf) dan harap." (QS as-Sajdah: 16).
Dalam banyak ayat-Nya, Allah bukan hanya memerintahkan agar takut, tapi juga sering melukiskan berbagai hal yang seyogiannya membuahkan ketakutan pada hamba, misalnya, ketika menjelaskan tentang neraka jahanam, huru-hara kiamat, atau musibah umat yang lalu. Beda dengan kaum salafus salih dulu kala yang gampang terketuk, tergores, bahkan terguncang hatinya dengan menyimak Alquran, manusia sekarang mungkin perlu melihat secara nyata bagaimana kekuasaan Allah itu tampil di muka bumi ini, sehingga berbagai musibah dan bencana pun datang silih berganti. Lantas, masih enggankah kita mengambil pelajaran? Wallahu a'lam bish-shawab.
(Republika.co.id)
No comments:
Post a Comment