Monday, December 10, 2012

Pria Yang Melamar Dengan Cinta, Dan Wanita Yang Menerima Karena Allah

Oleh: Nanda Satriana (Pend. Geografi Unila 2009)
#Catatan Hidup Nanda---Kawan-kawan semua, perjalanan hidup kita selalu menimbulkan dinamika yang terkadang banyak membawa hikmah. Rekamlah baik-baik jejak hidup kita karena suatu saat jika kita mengingatnya, terkadang kita bisa mendapatkan hikmahnya.
#Catatan Hidup Nanda, adalah sebuah cara yang saya lakukan untuk membagi pengalaman hidup mulai dari kehidupan pribadi sendiri, sampai kehidupan orang lain yang dikutip dan diceritakan ulang untuk sama-sama diambil hikmahnya.
***Catatan kali ini menceritakan tentang kisah yang diambil langsung dari kehidupan nyata. Cerita ini saya dapatkan tepat malam lalu langsung dari yang bersangkutan, sebuah kisah hidup yang begitu memotivasi, menggambarkan tentang cerita hidup sesungguhnya, dan anomali kehidupan. Menjelaskan bahwa hitung-hitungan di atas kertas dunia sangatlah tidak bisa dibandingkan hitung-hitungan Allah.
Dan berikut adalah kisahnya:
Nama pria tersebut adalah Rizqan [nama disamarkan], pria yang hanya lulusan SMP. Dan tanpa modal yang cukup secara materi maupun moril selepas SMP ia langsung merantau di Kota Jakarta mencari kerja. Di tengah hiruk pikuk kota metropolitan Rizqan benar-benar bingung harus mencari kerja dimana dengan hanya mengandalkan pendidikan tamat SMP. Mungkin kalau ia menawarkan diri bekerja pada pedagang-pedagang pasar akan diterima pikirnya. Maka pada saat itu lah ia menjadi pekerja di pasar.
Kehidupan di pasar bukanlah kehidupan yang menyenangkan, di sana banyak sekali orang-orang yang membuang waktunya untuk hal yang sia-sia (selain berdagang). Apalagi di kota keras macam Jakarta, jelaslah di setiap pasar selalu ada para preman yang menjadikan dirinya sebagai pengaman pasar tapi meminta upeti kepada tiap pedagang. Rizqan pun bukannya tidak masuk dalam kehidupan gelap di sana, ia pun kerap kali ikut mabuk-mabukan bersama para preman-preman pasar. Kurang lebih selama 2 tahun ia menjalani kehidupan seperti itu. Hingga akhirnya ia bertemu dengan orang yang mulai menasihatinya agar melepas kehidupan gelapnya. Ia dinasihati bahwasanya dirinya masih muda dan masa depannya masih panjang. Perlahan Rizqan mulai berpikir, memang dengan usianya yang masih muda ia hanya bisa menghabiskan uang yang didapatnya setiap hari untuk hal-hal yang tidak penting. Hal itu juga karena ia belum memiliki banyak tanggungan dan secara psikologi belum dewasa, sehingga hanya bisa ikut dengan kondisi lingkungan.
Setelah dipikirkan, akhirnya Rizqan memilih untuk kembali ke Lampung agar ia tidak terjerumus lebih dalam ke dunia kriminal. Sesampainya di Lampung, Rizqan pun tidak punya banyak pilihan melainkan berdagang. Ya bagaimana pun juga itulah profesi yang ia tekuni selama kurang lebih 2 tahun di Jakarta. Akhirnya ia pun memutuskan untuk berdagang es buah. Rizqan memilih area sekitar kampus untuk berjualan, karena pikirnya cukup strategis dan lingkungannya tidak mendorongnya melakukan hal yang sama di Jakarta. Untuk tempat tinggal sendiri ia memilih tinggal di sebuah kontrakan di Jalan Kopi (Area Unila). Di sana ia mulai merasa kehidupannya membaik, ditambah lagi kontrakannya dekat dengan pondok pesantren Darul Fattah.
Setahun sudah ia berjualan es buah, ia pun pindah kontrakan di Jalan Cengkeh dekat dengan Pondok Pesantren Darul Hikmah. Pikirnya apabila ia tinggal di dekat pondok pesantren setidaknya ia bisa mulai memperbaiki hidup dan termotivasi untuk belajar agama. Selama ia tinggal di sana kerap kali melihat sekumpulan santriwati yang berkumpul mengaji. Setiap malam minggu tepatnya, santriwati-santriwati tersebut berkumpul. Sesekali Rizqan memerhatikan para akhwat-akhwat sholehah itu. Terkadang hati kecilnya berbicara "Kapan ya saya bisa punya pendamping seperti itu?" Akan tetapi apa daya, yang ia miliki hanya gerobak es buah, ijazah tamatan SMP, latar belakang sebagai mantan berandalan yang mabuk-mabukan, dan segala hal yang kalau ingin disandingkan selalu bertentangan dengan sosok muslimah para santriwati tersebut. Kurang lebih selama 2 tahun Rizqan selalu memikirkannya, "Pantas atau tidak saya mendapatkan wanita sholehah seperti para santriwati itu?"
Kegundahan Rizqan kerap kali terucapkan, sehingga lama-kelamaan teman-temannya sesama pedagang mengetahui kalau Rizqan naksir dengan salah seorang santriwati di Pondok Pesatren tersebut. Hingga suatu hari Rizqan bertanya kepada salah seorang temannya, "Kira-kira saya bisa gak ya punya istri sholehah seperti santriwati yang ada di Darul Hikmah itu?"
"Ya gak usah banyak mikir, kalau mau ya sekarang kita datangi orangnya", jawab temannya tersebut dengan tegas.
"Ah, ngawur kamu. Malu lah aku", balas Rizqan.
Akan tetapi tiba-tiba temannya itu menarik tangan Rizqan dan membawanya ke arah kontrakan para santriwati itu tinggal. Dan entah kenapa Rizqan kala itu hanya ikut saja, tanpa berpikir apapun.
Sesampainya di depan salah satu kontrakan santriwati, teman Rizqan itu mengetuk pintu.
"Asslamu'alaykum,.,.!!!" Katanya sambil mengetuk pintu. Dan pintu tersebut pun terbuka, tapi si santriwati itu tidak menampakkan wajahnya.
"Wa'alaykum salam, iya ada apa Mas?", tanya santriwati itu.
"Ini teman saya ada yang mau kenalan Mbak", kata teman Rizqan sembari menariknya ke dekat pintu.
"Maaf Mbak, nama saya Rizqan. Saya penjual es buah yang sering jualan di sekitar jalan depan itu. Anu... Jadi ya saya ini sering ngeliatin Mbak-Mbak ini kalau ngaji atau pun kumpul-kumpul. Jujur saya ingin punya istri macam Mbak ini, saya mau punya pendamping yang bisa mengajari saya masalah agama." Kata-kata itu entah kenapa keluar begitu saja dari mulut Rizqan. Ia pun sebenarnya bingung ketika ia berbicara tapi sama sekali tidak ia pikirkan, seolah memang keluar dari hatinya yang terdalam.
"Kalau saya sih terserah orang tua" jawab santriwati tersebut dengan ringkasnya. Ia memberikan selembar kertas berisi nama dan nomor handphone-nya lalu menutup pintu. Rizqan dan temannya pun akhirnya meninggalkan tempat itu dengan perasaan yang tak bisa ditafsirkan.
Dua minggu sudah setelah kejadian Rizqan ke kontrakan santriwati tersebut, akan tetapi ia masih bingung mau diapakan nomor handphone yang didapatnya itu. Mengirim SMS saja ia tidak berani apalagi menelpon. Tapi ia mulai meneguhkan hati dengan memberanikan diri mengirim pesan singkat. Rizqan terus menunggu balasan pesan tersebut, tapi tak kunjung juga dikirim balasannya. “Mungkin dia sedang kuliah” pikirnya. Akan tetapi tiga jam sudah waktu yang ia lewati dan tak juga datang balasan dari sanriwati tersebut. Rizqan makin bimbang, perasaannya tak menentu. Setiap SMS yang masuk selalu saja pikirannya langsung tertuju pada sang santriwati, akan tetapi ketika dilihat Handphone nya ternyata bukan dari sang pujaannya itu. Rizqan mulai patah arang, sepertinya memang tidak mungkin kalau ia bisa menikahi santriwati tersebut. Rizqan pun akhirnya melewati hari itu tanpa menerima balasan pesan dari sang santriwati.
Tidak seperti biasanya, Rizqan terlihat murung. Ketika melayani pelanggan yang membeli es buahnya pun ia hanya menampakkan wajah datar saja. Akan tetapi tiba-tiba handphone-nya bergetar. Dirogohnya handphone tersebut dari kantungnya, dan betapa cerahnya wajah Rizqan ketika ternyata itu SMS dari sang santriwati. Suci [nama samaran], nama itu yang tertera dari pengirim SMS. Rizqan tersenyum sumringah melihat pesan tersebut, hatinya bergetar membaca tiap huruf dari pesan singkat di handphone-nya.
“Maaf baru balas. Kemarin saya tidak punya pulsa. Alhamdulillah hari ini ada rezeki jadi bisa isi pulsa. Saya baik-baik saja. Alhamdulillah Allah selalu memberi nikmat sehat kepada saya. Terima kasih atas perhatiannya. Wassalamu’alaikum, Wr. Wb”
Pesan tersebut singkat dan jelas. Tidak bertele-tele atau pun menggombal dengan segala macam model SMS yang sedang tenar pada kalangan anak muda. Meski seperti itu Rizqan begitu bahagia membacanya, baginya itu sudah cukup menghilangkan perasaan gundah gulananya.
Semenjak saat itu, Rizqan kerap kali mengirim pesan sekedar menanyakan kabar. Dan seperti biasanya, Suci hanya membalas secara singkat saja sesuai apa yang ditanyakan. Ia begitu menjaga komunikasi, baginya balasan tersebut tidak lebih sebagai tanggung jawab seorang muslim menjawab pertanyaan yang diajukan seseorang. Rizqan pun tidak berani untuk banyak mengirim pesan. Ia tahu benar bahwa wanita macam Suci memang bukan tipe wanita yang suka dipuji dan ber-SMS ria dengan lawan jenis. Akan tetapi justru itu yang semakin membuat Rizqan yakin, kalau dialah wanita yang kelak harus menjadi pendamping hidupnya.
Suatu hari Suci mengirim SMS kepada Rizqan, biasanya Rizqan yang selalui memulai mengirimkan pesan. Jelaslah hal tersebut membuat Rizqan bahagia dan berbunga-bunga, apalagi isi dari pesan singkat tersebut adalah tawaran untuk berkunjung ke rumahnya di Kotabumi. Ya, Suci mempersilahkan Rizqan jika ingin serius melamarnya datang ke rumah pada saat Lebaran nanti. Jelaslah kesempatan itu tidak akan disia-siakan oleh Rizqan, kapan lagi pikirnya. Rizqan pun menanti hari tersebut dan rela tidak pulang kampung lebaran bersama keluarga demi menyambangi rumah sang pujaan hatinya itu.
Tepat di hari berkunjungnya Rizqan ke rumah Suci, ia berangkat bermodalkan tekad dan sekantung buah. Bayangkan saja, Rizqan sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Kotabumi, yang ia miliki hanya tekad dan cinta. Ia memberangkatkan dirinya pergi dengan sepeda motor, ia menuju daerah sesuai alamat yang diberi tahu Suci. Kalau bukan karena cinta, mungkin Rizqan enggan berangkat. Jelaslah cukup sulit mencari satu rumah dari ratusan rumah yang ada di sana, ditambah lagi ia tidak memiliki kenalan seorang pun di daerah tersebut. Sesampainya di suatu daerah, Rizqan bingung harus menuju kemana lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk bertanya kepada seseorang. Ia melihat ada sebuah warung di depannya, Rizqan memilih untuk bertanya kepada orang yang ada di warung tersebut. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati bahwa rumah yang memiliki warung tersebut adalah rumah Suci. Dan tidak lama ia melihat Suci sedang menyapu halaman rumahnya.
“Tidak salah ini memang benar rumahnya” kata Rizqan dalam hati. Ia pun akhirnya dipersilahkan masuk oleh orang tua Rizqan, sedangkan Suci masuk ke dalam rumah dan memilih tidak menampakkan diri. Rizqan hanya berusaha untuk berpikir positif, “Mungkin dia sedang berdo’a” dalam hatinya. Di dalam rumah tersebut Rizqan berbicara dengan Ibunda Suci. Jelaslah Ibunda Suci sudah mengetahui niat Rizqan datang ke rumahnya. Ia ditanya masalah pekerjaan, penghasilan, dan perihal terkait apa saja yang dimiliki Rizqan.
“Kalau saya kerjanya sebagai tukang es buah Bu, untuk penghasilan memang terkadang tidak tetap antara 300-500 ribu per bulan, tapi itu cukup untuk kehidupan sehari-hari. Kalau masalah pendidikan saya hanya lulusan SMP Bu” kata Rizqan dengan jujurnya.
Mendengarkan hal tersebut, Ibunda Suci terkejut dan menampakkan wajah sedikit kecewa bercampur mencibir. Melihat kejadian itu, Rizqan merasa sedikit lesu meski merasa maklum apalagi kalau memang berkaca pada dirinya yang tidak punya apa-apa. Percakapan mereka tidak berlangsung lama, Rizqan hanya meninggalkan buah yang di bawa tanpa bisa berkesempatan bertemu atau bahkan berbicara di depan Suci. Bukan tanpa alasan Ibunda Suci berekspresi seperti itu, karena ternyata sebelum Rizqan ke sana sudah ada pria yang lebih dulu menghampiri orang tua Suci. Niatannya pun sama, berencana melamar Suci. Akan tetapi, memang keduanya hanya sebatas pembicaraan, belum sampai ke tahap yang lebih serius.
Sebulan sudah dari kunjungan Rizqan ke rumah Suci yang justru hanya membawa luka di hatinya. Di sisi lain, ia memang merasa kalau dirinya tidak pantas. Keputusannya ke rumah Suci dianggap sebagai sebuah hal yang bodoh dan naif. Bagaimanapun juga ia hanyalah pedagang es buah yang penghasilannya tidak banyak, hanya lulusan SMP dan pernah punya latar belakang di kehidupan gelap ketika di Jakarta. Sedangkan wanita yang diinginkannya seorang anak kuliahan (calon sarjana), santriwati di Pondok Pesantren, punya ilmu agama yang baik, dan dari keluarga yang secara ekonomi cukup meski tidak bisa disebut kaya raya. “Bodohnya aku ini, kok terus mikir kalau aku bisa jadi suaminya ya” pikir Rizqan.
Hari-hari Rizqan penuh dengan keputusasaan, di sisi lain dia sudah merasa tidak pantas terhadap Suci, tapi hatinya selalu ingin mengingat Suci. Suatu hari Rizqan kedatangan pembeli yang sebenarnya sudah tak asing baginya. Pak Gino [nama samaran], begitu ia disapa. Ia seorang dosen PTN di Lampung. Sebelumnya beberapa kali ia membeli es buah dari Rizqan dan sudah sering berbincang-bincang dengannya.
“Bagaimana kabarnya Mas Rizqan?” Tanya Pak Gino
“Alhamdulillah baik Pak.” Jawab Rizqan meski dengan wajah agak datar.
“Baik kok kelihatannya lesu begitu, ada apa sebenarnya Mas?” tanya Pak Gino penasaran.
“Enggak kok Pak, saya gak apa-apa”
“Pasti masalah keuangan ya? Penjualan mulai menurun ya Mas Rizqan?”
“Bukan Pak, kalau masalah itu penjualan saya ya begini-begini aja. Gak naik, gak juga nurun.”
“Terus kenapa kelihatannya banyak masalah gitu Mas?”
Perlahan Rizqan akhirnya menceritakan alasan dirinya terlihat tidak bersemangat. Ia memberitahukan kisahnya ketika ke rumah Suci, ia merasa putus asa dan memang sudah meniatkan untuk tidak berusaha melamar Suci.
“Ya sudahlah Pak, saya ini SMA saja tidak, hanya jualan es buah, belum punya apa-apa. Dan saya ini bukan pria baik-baik Pak. Jadi tidak mungkin mendapatkan wanita Sholehah macam Suci.” Kata Rizqan
“Memang benar Mas, dalam Al Quran sudah diterangkan bahwa Laki-laki yang baik akan mendapatkan wanita yang baik juga. Akan tetapi ini bukan masalah masa lalu. Kalau saya tanya kepada Mas Rizqan kira Ust. Yussuf Mansyur atau Ust. Jefri Al Buchori itu laki-laki baik atau buruk? Pasti sekarang Mas Rizqan akan jawab laki-laki baik, tapi dulunya mereka itu laki-laki buruk Mas. Artinya Allah itu sebenarnya ingin melihat potensi baik buruknya seseorang, yang dimaksud laki-laki atau wanita baik buruknya itu bukan perkara masa lalu, melainkan bagaimana ia saat ini dan potensi ia ke depannya. Jangan menyerah hanya karena gagal sekali mencoba, apalagi kedatangan Mas saat itu kan cuma silaturahim toh bukan lamaran.” Jelas Pak Gino panjang lebar.
Mendengar perkataan Pak Gino, Rizqan mulai terbangun kembali motivasinya.
“Jadi menurut Pak Gino saya harus ke sana lagi dalam rangka melamar betulan ya Pak?” tanya Rizqan.
“Ya kenapa tidak? Kalau perlu saya bantu temani Mas, kebetulan saya juga berasal dari Kotabumi. Insya Allah Mas, asalkan ada niat Allah pasti akan memberi jalan. Kalau pun jalannya terjal, bukan berarti kita gagal, kita cari jalan lain. Yang namanya jodoh gak akan kemana Mas.” Dengan tegasnya Pak Gino meyakinkan Rizqan untuk mencoba melamar Suci.
Perkataan Pak Gino senantiasa teringat oleh Rizqan, sesekali ia termotivasi dan tidak jarang ia mengurungkan niatnya karena memang secara realita dia belum pantas. Rizqan menceritakan masalah tersebut kepada teman-temannya sesama pedagang. Dan tanpa disangka, ternyata mereka satu pemikiran dengan Pak Gino. Mereka justru mendorong Rizqan untuk pergi ke rumah Suci lagi untuk melamar. Dorongan teman-temannya itu akhirnya membulatkan tekad Rizqan untuk pergi melamar Suci. Beberapa hari kemudian Rizqan menghubungi Pak Gino, ia memberitahukan bahwa ia akan melamar Suci ke Kotabumi. Mendengar hal itu Pak Gino langsung menawarkan diri untuk menemani Rizqan. Akhirnya dengan penuh keteguhan Rizqan siap berangkat melamar Suci.
Tepat di hari pemberangkatan Rizqan ke rumah Suci, Pak Gino terkaget.
“Jadi teman-teman sesama pedagang Mas Rizqan ikut semua menemani ke Kotabumi?” tanya Pak Gino heran.
“Iya Pak, mereka mau menemani saya. Katanya kita adalah keluarga, jadi kalau lamaran ya harus ngundang-ngundang.” Jawab Rizqan polos.
Melihat hal tersebut Pak Gino terharu, betapa tidak karena hanya diikat pekerjaan sesama pedagang persahabatan mereka sudah bisa sejauh dan sesolid ini. Yang terkadang hal tersebut tidak bisa dimiliki para dosen atau mahasiswa yang intelektualnya lebih tinggi.
Akhirnya Rizqan bersama para rombongan berangkat menuju rumah Suci dengan tanpa membawa apapun. Ya, Rizqan hanya membawa diri dan kerabatnya serta cinta dan tekad yang ia miliki. Di sisi lain ia memiliki keyakinan kuat kalau lamaranya berhasil meski entah darimana datangnya keyakinan itu. Tidak ada kegundahan takut pulang dengan tangan hampa dalam hatinya. Nampaknya Allah sudah memberi keteguhan hati kepada Rizqan.
Sesampainya di rumah Suci, orang tuanya menyambut kedatangan Rizqan meski dengan perasaan heran. Bagaimana tidak, orang tua Suci sama sekali tidak mengetahui niat kedatangan Rizqan dan tiba-tiba ia datang bersama rombongan ke rumahnya. Pak Gino yang mewakili Rizqan menyampaikan tujuan kedatangan mereka ke sana. Orang tua Suci terkejut ketika tujuannya itu adalah melamar anaknya. Melihat ramainya orang yang datang ke rumahnya, orang tua Suci tidak bisa berbuat banyak atau banyak bertanya. Akhirnya mereka langsung ke pokok permasalahan, mereka menanyakan dengan apa Rizqan melamar Suci. Pertanyaan itu membuat Rizqan tidak bisa berkata-kata, karena memang ia datang dengan tangan kosong meski salah seorang temannya sudah mengingatkan kalau tradisi di sana melamar seorang wanita setidaknya diikat dengan cincin. Tetapi beruntung Rizqan bersama Pak Gino, ia mencoba menerangkan semuanya. Pak Gino memaparkan dengan bahasa yang lugas dan rasionalisasi yang dapat masuk ke dalam pemikiran orang tua Suci. Benar-benar takdir yang luar biasa seorang pedagang es buah dalam sesi lamarannya bersama seorang dosen, jelaslah ia sangat merasa terbantu. Pak Gino mencoba menerangkan bahwa kedatangan mereka meski tidak membawa apa-apa tetapi serius untuk melamar Suci. Mereka jauh-jauh dari Bandar Lampung menuju ke Kotabumi jelas adalah sebuah bentuk keseriusan tersebut. Belum lagi ditambah ramainya rombongan yang dibawa. Mendengar hal tersebut, orang tua Suci tidak bisa banyak berkomentar. Mereka cukup bingung menimpa perkataan seorang dosen yang lebih cerdas secara pendidikan.
Lama orang tua Suci berpikir, bagaimana pun juga mereka menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi tidak mungkin harus berjodoh dengan pedagang es buah lulusan SMP. Akhirnya mereka meminta waktu untuk berbicara dengan anaknya. Dalam pembicaraan tersebut orang tua Suci mengembalikan keputusan kepada anaknya. Meski sang anak untuk masalah seperti ini justru memilih apa yang menjadi pilihan orang tuanya. Akan tetapi ada satu hal yang Suci beritahukan kepada orang tuanya. Selama seminggu terakhir ternyata ia selalu shalat istikharah, karena sepengetahuannya ada dua laki-laki yang berniat melamarnya. Dan yang membuat Suci yakin adalah karena wajah Rizqan yang selalu terbayang dalam mimpinya. Suci meyakini bahwa itu bisa jadi pertanda yang diberikan oleh Allah. Ia yakin ketika Allah sudah menetapkan garis hidup seseorang maka tidak ada seorang pun yang dapat merubahnya. Kecintaan Suci kepada Allah lah yang pada akhirnya menerima cinta Rizqan. Suci sama sekali tidak melihat Rizqan sebagai pedagang es buah, atau lelaki yang hanya lulusan SMP, ia melihat Rizqan sebagai hamba Allah yang ingin berubah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Suci pun akhirnya menerima lamaran Rizqan. Mendengar keputusan itu, Rizqan serasa tidak percaya. Ia merasa bahagia yang tidak bisa dicurahkan melalui sebuah ekspresi wajah. Dan setelah memutuskan menerima lamaran Rizqan, orang tua Suci meminta Rizqan menikahi anaknya dalam waktu dua minggu ke depan. Rizqan menyanggupi hal tersebut meski sebenarnya ia tidak memiliki uang yang cukup untuk menyelenggarakan pernikahan. Akan tetapi masalah materi bukanlah hal yang membuat seseorang harus enggan menikah. Karena Allah Maha Kaya, ia pasti akan memberi jalan kepada setiap manusia yang membutuhkan pertolongan-Nya. Dengan keterbatasan yang ada Rizqan ternyata sanggup memenuhi permintaan orang tua Suci sekaligus mengakhiri penantian Rizqan selama ini.
Sekarang rumah tangga mereka sudah berjalan kurang lebih 2 tahun, mereka sudah memiliki bayi yang belum berusia 1 tahun. Sedangkan Rizqan masih dengan pekerjaanya sebagai pedagang es buah. Tapi hal terebut tidak membuat rumah tangga mereka terusik. Cinta yang mereka bangun benar-benar kepada Allah. Suci yang sudah sarjana dan sebagai mantan santriwati Darul Hikmah senantiasa membimbing Rizqan dalam hal agama. Dan percaya atau tidak Rizqan benar-benar berkembang dengan semakin banyak mengetahui tentang agama, hafalan Al Qurannya bertambah dan setahu saya juz 30 beliau sudah kelar (yang belum kelar juz 30 hayoo terlecut untuk menghafal, kalah dengan Mas Rizqan yang lulusan SMP lho). Kisah rumah tangga mereka pasti penuh suka dan duka, tapi saya belum seberapa tahu masalah detailnya. Saya berharap 5 tahun ke depan Mas Rizqan sudah punya usaha yang sukses, dan kalau saya masih bisa bertemu nantinya ingin merangkai kisah kehidupan beliau. Bagaimana pun juga saya masih kagum dengan kenyataan ini, ketika ada seorang akhwat (wanita) sarjana, lulusan pondok pesantren mampu menerima kehadiran seorang ikhwan (laki-laki) lulusan SMP, pedagang buah, dan pernah menjalani hidup kelam di Jakarta. Tapi itulah cinta yang dilandaskan kepada Allah, karena Allah lebih mengetahui apa yang dibutuhkan ummat-Nya. Dan dalam pola pikir saya, rumah tangga mereka lebih bisa merasakan cinta, karena dalam suka dan duka mereka selalu bersama, dan dalam setiap kesulitan yang saya yakin banyak mereka temui, mereka semakin dekat kepada Allah.
Allahualam Bishowab

No comments:

Post a Comment