Oleh: Nanda Satriana (Pend. Geografi Unila 2009)
#Catatan Hidup
Nanda--- Kawan-kawan semua,
perjalanan hidup kita selalu menimbulkan dinamika yang terkadang banyak membawa
hikmah. Rekamlah baik-baik jejak hidup kita karena suatu saat jika kita
mengingatnya, terkadang kita bisa mendapatkan hikmahnya.
#Catatan Hidup
Nanda, adalah sebuah cara yang saya lakukan untuk membagi pengalaman hidup
mulai dari kehidupan pribadi sendiri, sampai kehidupan orang lain yang dikutip
dan diceritakan ulang untuk sama-sama diambil hikmahnya.
Nama pria tersebut
adalah Rizqan [nama disamarkan], pria yang hanya lulusan SMP. Dan tanpa modal
yang cukup secara materi maupun moril selepas SMP ia langsung merantau di Kota
Jakarta mencari kerja. Di tengah hiruk pikuk kota metropolitan Rizqan
benar-benar bingung harus mencari kerja dimana dengan hanya mengandalkan
pendidikan tamat SMP. Mungkin kalau ia menawarkan diri bekerja pada
pedagang-pedagang pasar akan diterima pikirnya. Maka pada saat itu lah ia
menjadi pekerja di pasar.
Kehidupan di pasar
bukanlah kehidupan yang menyenangkan, di sana banyak sekali orang-orang yang
membuang waktunya untuk hal yang sia-sia (selain berdagang). Apalagi di kota
keras macam Jakarta, jelaslah di setiap pasar selalu ada para preman yang
menjadikan dirinya sebagai pengaman pasar tapi meminta upeti kepada tiap
pedagang. Rizqan pun bukannya tidak masuk dalam kehidupan gelap di sana, ia pun
kerap kali ikut mabuk-mabukan bersama para preman-preman pasar. Kurang lebih
selama 2 tahun ia menjalani kehidupan seperti itu. Hingga akhirnya ia bertemu
dengan orang yang mulai menasihatinya agar melepas kehidupan gelapnya. Ia
dinasihati bahwasanya dirinya masih muda dan masa depannya masih panjang.
Perlahan Rizqan mulai berpikir, memang dengan usianya yang masih muda ia hanya
bisa menghabiskan uang yang didapatnya setiap hari untuk hal-hal yang tidak
penting. Hal itu juga karena ia belum memiliki banyak tanggungan dan secara
psikologi belum dewasa, sehingga hanya bisa ikut dengan kondisi lingkungan.
Setelah dipikirkan,
akhirnya Rizqan memilih untuk kembali ke Lampung agar ia tidak terjerumus lebih
dalam ke dunia kriminal. Sesampainya di Lampung, Rizqan pun tidak punya banyak
pilihan melainkan berdagang. Ya bagaimana pun juga itulah profesi yang ia
tekuni selama kurang lebih 2 tahun di Jakarta. Akhirnya ia pun memutuskan untuk
berdagang es buah. Rizqan memilih area sekitar kampus untuk berjualan, karena pikirnya
cukup strategis dan lingkungannya tidak mendorongnya melakukan hal yang sama di
Jakarta. Untuk tempat tinggal sendiri ia memilih tinggal di sebuah kontrakan di
Jalan Kopi (Area Unila). Di sana ia mulai merasa kehidupannya membaik, ditambah
lagi kontrakannya dekat dengan pondok pesantren Darul Fattah.
Setahun sudah ia
berjualan es buah, ia pun pindah kontrakan di Jalan Cengkeh dekat dengan Pondok
Pesantren Darul Hikmah. Pikirnya apabila ia tinggal di dekat pondok pesantren
setidaknya ia bisa mulai memperbaiki hidup dan termotivasi untuk belajar agama.
Selama ia tinggal di sana kerap kali melihat sekumpulan santriwati yang
berkumpul mengaji. Setiap malam minggu tepatnya, santriwati-santriwati tersebut
berkumpul. Sesekali Rizqan memerhatikan para akhwat-akhwat sholehah itu.
Terkadang hati kecilnya berbicara "Kapan ya saya bisa punya pendamping
seperti itu?" Akan tetapi apa daya, yang ia miliki hanya gerobak es buah,
ijazah tamatan SMP, latar belakang sebagai mantan berandalan yang
mabuk-mabukan, dan segala hal yang kalau ingin disandingkan selalu bertentangan
dengan sosok muslimah para santriwati tersebut. Kurang lebih selama 2 tahun
Rizqan selalu memikirkannya, "Pantas atau tidak saya mendapatkan wanita
sholehah seperti para santriwati itu?"
Kegundahan Rizqan
kerap kali terucapkan, sehingga lama-kelamaan teman-temannya sesama pedagang
mengetahui kalau Rizqan naksir dengan salah seorang santriwati di Pondok
Pesatren tersebut. Hingga suatu hari Rizqan bertanya kepada salah seorang
temannya, "Kira-kira saya bisa gak ya punya istri sholehah seperti
santriwati yang ada di Darul Hikmah itu?"
"Ya gak usah
banyak mikir, kalau mau ya sekarang kita datangi orangnya", jawab temannya
tersebut dengan tegas.
"Ah, ngawur
kamu. Malu lah aku", balas Rizqan.
Akan tetapi
tiba-tiba temannya itu menarik tangan Rizqan dan membawanya ke arah kontrakan
para santriwati itu tinggal. Dan entah kenapa Rizqan kala itu hanya ikut saja,
tanpa berpikir apapun.
Sesampainya di depan
salah satu kontrakan santriwati, teman Rizqan itu mengetuk pintu.
"Asslamu'alaykum,.,.!!!"
Katanya sambil mengetuk pintu. Dan pintu tersebut pun terbuka, tapi si
santriwati itu tidak menampakkan wajahnya.
"Wa'alaykum
salam, iya ada apa Mas?", tanya santriwati itu.
"Ini teman
saya ada yang mau kenalan Mbak", kata teman Rizqan sembari menariknya ke
dekat pintu.
"Maaf Mbak,
nama saya Rizqan. Saya penjual es buah yang sering jualan di sekitar jalan
depan itu. Anu... Jadi ya saya ini sering ngeliatin Mbak-Mbak ini kalau ngaji
atau pun kumpul-kumpul. Jujur saya ingin punya istri macam Mbak ini, saya mau
punya pendamping yang bisa mengajari saya masalah agama." Kata-kata itu
entah kenapa keluar begitu saja dari mulut Rizqan. Ia pun sebenarnya bingung
ketika ia berbicara tapi sama sekali tidak ia pikirkan, seolah memang keluar
dari hatinya yang terdalam.
"Kalau saya
sih terserah orang tua" jawab santriwati tersebut dengan ringkasnya. Ia
memberikan selembar kertas berisi nama dan nomor handphone-nya lalu menutup
pintu. Rizqan dan temannya pun akhirnya meninggalkan tempat itu dengan perasaan
yang tak bisa ditafsirkan.
Dua minggu sudah
setelah kejadian Rizqan ke kontrakan santriwati tersebut, akan tetapi ia masih
bingung mau diapakan nomor handphone yang didapatnya itu. Mengirim SMS saja ia
tidak berani apalagi menelpon. Tapi ia mulai meneguhkan hati dengan
memberanikan diri mengirim pesan singkat. Rizqan terus menunggu balasan pesan
tersebut, tapi tak kunjung juga dikirim balasannya. “Mungkin dia sedang kuliah”
pikirnya. Akan tetapi tiga jam sudah waktu yang ia lewati dan tak juga datang
balasan dari sanriwati tersebut. Rizqan makin bimbang, perasaannya tak menentu.
Setiap SMS yang masuk selalu saja pikirannya langsung tertuju pada sang
santriwati, akan tetapi ketika dilihat Handphone nya ternyata bukan dari sang
pujaannya itu. Rizqan mulai patah arang, sepertinya memang tidak mungkin kalau
ia bisa menikahi santriwati tersebut. Rizqan pun akhirnya melewati hari itu
tanpa menerima balasan pesan dari sang santriwati.
Tidak seperti
biasanya, Rizqan terlihat murung. Ketika melayani pelanggan yang membeli es
buahnya pun ia hanya menampakkan wajah datar saja. Akan tetapi tiba-tiba
handphone-nya bergetar. Dirogohnya handphone tersebut dari kantungnya, dan betapa
cerahnya wajah Rizqan ketika ternyata itu SMS dari sang santriwati. Suci [nama
samaran], nama itu yang tertera dari pengirim SMS. Rizqan tersenyum sumringah
melihat pesan tersebut, hatinya bergetar membaca tiap huruf dari pesan singkat
di handphone-nya.
“Maaf baru balas. Kemarin saya tidak punya pulsa. Alhamdulillah hari ini ada rezeki jadi bisa isi pulsa. Saya baik-baik saja. Alhamdulillah Allah selalu memberi nikmat sehat kepada saya. Terima kasih atas perhatiannya. Wassalamu’alaikum, Wr. Wb”
Pesan tersebut singkat dan jelas. Tidak bertele-tele atau pun menggombal dengan segala macam model SMS yang sedang tenar pada kalangan anak muda. Meski seperti itu Rizqan begitu bahagia membacanya, baginya itu sudah cukup menghilangkan perasaan gundah gulananya.
“Maaf baru balas. Kemarin saya tidak punya pulsa. Alhamdulillah hari ini ada rezeki jadi bisa isi pulsa. Saya baik-baik saja. Alhamdulillah Allah selalu memberi nikmat sehat kepada saya. Terima kasih atas perhatiannya. Wassalamu’alaikum, Wr. Wb”
Pesan tersebut singkat dan jelas. Tidak bertele-tele atau pun menggombal dengan segala macam model SMS yang sedang tenar pada kalangan anak muda. Meski seperti itu Rizqan begitu bahagia membacanya, baginya itu sudah cukup menghilangkan perasaan gundah gulananya.
Semenjak saat itu,
Rizqan kerap kali mengirim pesan sekedar menanyakan kabar. Dan seperti
biasanya, Suci hanya membalas secara singkat saja sesuai apa yang ditanyakan.
Ia begitu menjaga komunikasi, baginya balasan tersebut tidak lebih sebagai
tanggung jawab seorang muslim menjawab pertanyaan yang diajukan seseorang.
Rizqan pun tidak berani untuk banyak mengirim pesan. Ia tahu benar bahwa wanita
macam Suci memang bukan tipe wanita yang suka dipuji dan ber-SMS ria dengan
lawan jenis. Akan tetapi justru itu yang semakin membuat Rizqan yakin, kalau
dialah wanita yang kelak harus menjadi pendamping hidupnya.
Suatu hari Suci
mengirim SMS kepada Rizqan, biasanya Rizqan yang selalui memulai mengirimkan
pesan. Jelaslah hal tersebut membuat Rizqan bahagia dan berbunga-bunga, apalagi
isi dari pesan singkat tersebut adalah tawaran untuk berkunjung ke rumahnya di
Kotabumi. Ya, Suci mempersilahkan Rizqan jika ingin serius melamarnya datang ke
rumah pada saat Lebaran nanti. Jelaslah kesempatan itu tidak akan disia-siakan
oleh Rizqan, kapan lagi pikirnya. Rizqan pun menanti hari tersebut dan rela
tidak pulang kampung lebaran bersama keluarga demi menyambangi rumah sang
pujaan hatinya itu.
Tepat di hari
berkunjungnya Rizqan ke rumah Suci, ia berangkat bermodalkan tekad dan sekantung
buah. Bayangkan saja, Rizqan sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Kotabumi,
yang ia miliki hanya tekad dan cinta. Ia memberangkatkan dirinya pergi dengan
sepeda motor, ia menuju daerah sesuai alamat yang diberi tahu Suci. Kalau bukan
karena cinta, mungkin Rizqan enggan berangkat. Jelaslah cukup sulit mencari
satu rumah dari ratusan rumah yang ada di sana, ditambah lagi ia tidak memiliki
kenalan seorang pun di daerah tersebut. Sesampainya di suatu daerah, Rizqan
bingung harus menuju kemana lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk bertanya kepada
seseorang. Ia melihat ada sebuah warung di depannya, Rizqan memilih untuk
bertanya kepada orang yang ada di warung tersebut. Dan betapa terkejutnya ia
ketika mendapati bahwa rumah yang memiliki warung tersebut adalah rumah Suci.
Dan tidak lama ia melihat Suci sedang menyapu halaman rumahnya.
“Tidak salah ini memang benar rumahnya” kata Rizqan dalam hati. Ia pun akhirnya dipersilahkan masuk oleh orang tua Rizqan, sedangkan Suci masuk ke dalam rumah dan memilih tidak menampakkan diri. Rizqan hanya berusaha untuk berpikir positif, “Mungkin dia sedang berdo’a” dalam hatinya. Di dalam rumah tersebut Rizqan berbicara dengan Ibunda Suci. Jelaslah Ibunda Suci sudah mengetahui niat Rizqan datang ke rumahnya. Ia ditanya masalah pekerjaan, penghasilan, dan perihal terkait apa saja yang dimiliki Rizqan.
“Kalau saya kerjanya sebagai tukang es buah Bu, untuk penghasilan memang terkadang tidak tetap antara 300-500 ribu per bulan, tapi itu cukup untuk kehidupan sehari-hari. Kalau masalah pendidikan saya hanya lulusan SMP Bu” kata Rizqan dengan jujurnya.
Mendengarkan hal tersebut, Ibunda Suci terkejut dan menampakkan wajah sedikit kecewa bercampur mencibir. Melihat kejadian itu, Rizqan merasa sedikit lesu meski merasa maklum apalagi kalau memang berkaca pada dirinya yang tidak punya apa-apa. Percakapan mereka tidak berlangsung lama, Rizqan hanya meninggalkan buah yang di bawa tanpa bisa berkesempatan bertemu atau bahkan berbicara di depan Suci. Bukan tanpa alasan Ibunda Suci berekspresi seperti itu, karena ternyata sebelum Rizqan ke sana sudah ada pria yang lebih dulu menghampiri orang tua Suci. Niatannya pun sama, berencana melamar Suci. Akan tetapi, memang keduanya hanya sebatas pembicaraan, belum sampai ke tahap yang lebih serius.
“Tidak salah ini memang benar rumahnya” kata Rizqan dalam hati. Ia pun akhirnya dipersilahkan masuk oleh orang tua Rizqan, sedangkan Suci masuk ke dalam rumah dan memilih tidak menampakkan diri. Rizqan hanya berusaha untuk berpikir positif, “Mungkin dia sedang berdo’a” dalam hatinya. Di dalam rumah tersebut Rizqan berbicara dengan Ibunda Suci. Jelaslah Ibunda Suci sudah mengetahui niat Rizqan datang ke rumahnya. Ia ditanya masalah pekerjaan, penghasilan, dan perihal terkait apa saja yang dimiliki Rizqan.
“Kalau saya kerjanya sebagai tukang es buah Bu, untuk penghasilan memang terkadang tidak tetap antara 300-500 ribu per bulan, tapi itu cukup untuk kehidupan sehari-hari. Kalau masalah pendidikan saya hanya lulusan SMP Bu” kata Rizqan dengan jujurnya.
Mendengarkan hal tersebut, Ibunda Suci terkejut dan menampakkan wajah sedikit kecewa bercampur mencibir. Melihat kejadian itu, Rizqan merasa sedikit lesu meski merasa maklum apalagi kalau memang berkaca pada dirinya yang tidak punya apa-apa. Percakapan mereka tidak berlangsung lama, Rizqan hanya meninggalkan buah yang di bawa tanpa bisa berkesempatan bertemu atau bahkan berbicara di depan Suci. Bukan tanpa alasan Ibunda Suci berekspresi seperti itu, karena ternyata sebelum Rizqan ke sana sudah ada pria yang lebih dulu menghampiri orang tua Suci. Niatannya pun sama, berencana melamar Suci. Akan tetapi, memang keduanya hanya sebatas pembicaraan, belum sampai ke tahap yang lebih serius.
Sebulan sudah dari
kunjungan Rizqan ke rumah Suci yang justru hanya membawa luka di hatinya. Di
sisi lain, ia memang merasa kalau dirinya tidak pantas. Keputusannya ke rumah
Suci dianggap sebagai sebuah hal yang bodoh dan naif. Bagaimanapun juga ia
hanyalah pedagang es buah yang penghasilannya tidak banyak, hanya lulusan SMP
dan pernah punya latar belakang di kehidupan gelap ketika di Jakarta. Sedangkan
wanita yang diinginkannya seorang anak kuliahan (calon sarjana), santriwati di
Pondok Pesantren, punya ilmu agama yang baik, dan dari keluarga yang secara
ekonomi cukup meski tidak bisa disebut kaya raya. “Bodohnya aku ini, kok terus
mikir kalau aku bisa jadi suaminya ya” pikir Rizqan.
Hari-hari Rizqan penuh dengan keputusasaan, di sisi lain dia sudah merasa tidak pantas terhadap Suci, tapi hatinya selalu ingin mengingat Suci. Suatu hari Rizqan kedatangan pembeli yang sebenarnya sudah tak asing baginya. Pak Gino [nama samaran], begitu ia disapa. Ia seorang dosen PTN di Lampung. Sebelumnya beberapa kali ia membeli es buah dari Rizqan dan sudah sering berbincang-bincang dengannya.
“Bagaimana kabarnya Mas Rizqan?” Tanya Pak Gino
“Alhamdulillah baik Pak.” Jawab Rizqan meski dengan wajah agak datar.
“Baik kok kelihatannya lesu begitu, ada apa sebenarnya Mas?” tanya Pak Gino penasaran.
“Enggak kok Pak, saya gak apa-apa”
“Pasti masalah keuangan ya? Penjualan mulai menurun ya Mas Rizqan?”
“Bukan Pak, kalau masalah itu penjualan saya ya begini-begini aja. Gak naik, gak juga nurun.”
“Terus kenapa kelihatannya banyak masalah gitu Mas?”
Perlahan Rizqan akhirnya menceritakan alasan dirinya terlihat tidak bersemangat. Ia memberitahukan kisahnya ketika ke rumah Suci, ia merasa putus asa dan memang sudah meniatkan untuk tidak berusaha melamar Suci.
“Ya sudahlah Pak, saya ini SMA saja tidak, hanya jualan es buah, belum punya apa-apa. Dan saya ini bukan pria baik-baik Pak. Jadi tidak mungkin mendapatkan wanita Sholehah macam Suci.” Kata Rizqan
“Memang benar Mas, dalam Al Quran sudah diterangkan bahwa Laki-laki yang baik akan mendapatkan wanita yang baik juga. Akan tetapi ini bukan masalah masa lalu. Kalau saya tanya kepada Mas Rizqan kira Ust. Yussuf Mansyur atau Ust. Jefri Al Buchori itu laki-laki baik atau buruk? Pasti sekarang Mas Rizqan akan jawab laki-laki baik, tapi dulunya mereka itu laki-laki buruk Mas. Artinya Allah itu sebenarnya ingin melihat potensi baik buruknya seseorang, yang dimaksud laki-laki atau wanita baik buruknya itu bukan perkara masa lalu, melainkan bagaimana ia saat ini dan potensi ia ke depannya. Jangan menyerah hanya karena gagal sekali mencoba, apalagi kedatangan Mas saat itu kan cuma silaturahim toh bukan lamaran.” Jelas Pak Gino panjang lebar.
Mendengar perkataan Pak Gino, Rizqan mulai terbangun kembali motivasinya.
“Jadi menurut Pak Gino saya harus ke sana lagi dalam rangka melamar betulan ya Pak?” tanya Rizqan.
“Ya kenapa tidak? Kalau perlu saya bantu temani Mas, kebetulan saya juga berasal dari Kotabumi. Insya Allah Mas, asalkan ada niat Allah pasti akan memberi jalan. Kalau pun jalannya terjal, bukan berarti kita gagal, kita cari jalan lain. Yang namanya jodoh gak akan kemana Mas.” Dengan tegasnya Pak Gino meyakinkan Rizqan untuk mencoba melamar Suci.
Hari-hari Rizqan penuh dengan keputusasaan, di sisi lain dia sudah merasa tidak pantas terhadap Suci, tapi hatinya selalu ingin mengingat Suci. Suatu hari Rizqan kedatangan pembeli yang sebenarnya sudah tak asing baginya. Pak Gino [nama samaran], begitu ia disapa. Ia seorang dosen PTN di Lampung. Sebelumnya beberapa kali ia membeli es buah dari Rizqan dan sudah sering berbincang-bincang dengannya.
“Bagaimana kabarnya Mas Rizqan?” Tanya Pak Gino
“Alhamdulillah baik Pak.” Jawab Rizqan meski dengan wajah agak datar.
“Baik kok kelihatannya lesu begitu, ada apa sebenarnya Mas?” tanya Pak Gino penasaran.
“Enggak kok Pak, saya gak apa-apa”
“Pasti masalah keuangan ya? Penjualan mulai menurun ya Mas Rizqan?”
“Bukan Pak, kalau masalah itu penjualan saya ya begini-begini aja. Gak naik, gak juga nurun.”
“Terus kenapa kelihatannya banyak masalah gitu Mas?”
Perlahan Rizqan akhirnya menceritakan alasan dirinya terlihat tidak bersemangat. Ia memberitahukan kisahnya ketika ke rumah Suci, ia merasa putus asa dan memang sudah meniatkan untuk tidak berusaha melamar Suci.
“Ya sudahlah Pak, saya ini SMA saja tidak, hanya jualan es buah, belum punya apa-apa. Dan saya ini bukan pria baik-baik Pak. Jadi tidak mungkin mendapatkan wanita Sholehah macam Suci.” Kata Rizqan
“Memang benar Mas, dalam Al Quran sudah diterangkan bahwa Laki-laki yang baik akan mendapatkan wanita yang baik juga. Akan tetapi ini bukan masalah masa lalu. Kalau saya tanya kepada Mas Rizqan kira Ust. Yussuf Mansyur atau Ust. Jefri Al Buchori itu laki-laki baik atau buruk? Pasti sekarang Mas Rizqan akan jawab laki-laki baik, tapi dulunya mereka itu laki-laki buruk Mas. Artinya Allah itu sebenarnya ingin melihat potensi baik buruknya seseorang, yang dimaksud laki-laki atau wanita baik buruknya itu bukan perkara masa lalu, melainkan bagaimana ia saat ini dan potensi ia ke depannya. Jangan menyerah hanya karena gagal sekali mencoba, apalagi kedatangan Mas saat itu kan cuma silaturahim toh bukan lamaran.” Jelas Pak Gino panjang lebar.
Mendengar perkataan Pak Gino, Rizqan mulai terbangun kembali motivasinya.
“Jadi menurut Pak Gino saya harus ke sana lagi dalam rangka melamar betulan ya Pak?” tanya Rizqan.
“Ya kenapa tidak? Kalau perlu saya bantu temani Mas, kebetulan saya juga berasal dari Kotabumi. Insya Allah Mas, asalkan ada niat Allah pasti akan memberi jalan. Kalau pun jalannya terjal, bukan berarti kita gagal, kita cari jalan lain. Yang namanya jodoh gak akan kemana Mas.” Dengan tegasnya Pak Gino meyakinkan Rizqan untuk mencoba melamar Suci.
Perkataan Pak Gino
senantiasa teringat oleh Rizqan, sesekali ia termotivasi dan tidak jarang ia
mengurungkan niatnya karena memang secara realita dia belum pantas. Rizqan
menceritakan masalah tersebut kepada teman-temannya sesama pedagang. Dan tanpa
disangka, ternyata mereka satu pemikiran dengan Pak Gino. Mereka justru
mendorong Rizqan untuk pergi ke rumah Suci lagi untuk melamar. Dorongan
teman-temannya itu akhirnya membulatkan tekad Rizqan untuk pergi melamar Suci.
Beberapa hari kemudian Rizqan menghubungi Pak Gino, ia memberitahukan bahwa ia
akan melamar Suci ke Kotabumi. Mendengar hal itu Pak Gino langsung menawarkan
diri untuk menemani Rizqan. Akhirnya dengan penuh keteguhan Rizqan siap
berangkat melamar Suci.
Tepat di hari
pemberangkatan Rizqan ke rumah Suci, Pak Gino terkaget.
“Jadi teman-teman sesama pedagang Mas Rizqan ikut semua menemani ke Kotabumi?” tanya Pak Gino heran.
“Iya Pak, mereka mau menemani saya. Katanya kita adalah keluarga, jadi kalau lamaran ya harus ngundang-ngundang.” Jawab Rizqan polos.
Melihat hal tersebut Pak Gino terharu, betapa tidak karena hanya diikat pekerjaan sesama pedagang persahabatan mereka sudah bisa sejauh dan sesolid ini. Yang terkadang hal tersebut tidak bisa dimiliki para dosen atau mahasiswa yang intelektualnya lebih tinggi.
Akhirnya Rizqan bersama para rombongan berangkat menuju rumah Suci dengan tanpa membawa apapun. Ya, Rizqan hanya membawa diri dan kerabatnya serta cinta dan tekad yang ia miliki. Di sisi lain ia memiliki keyakinan kuat kalau lamaranya berhasil meski entah darimana datangnya keyakinan itu. Tidak ada kegundahan takut pulang dengan tangan hampa dalam hatinya. Nampaknya Allah sudah memberi keteguhan hati kepada Rizqan.
“Jadi teman-teman sesama pedagang Mas Rizqan ikut semua menemani ke Kotabumi?” tanya Pak Gino heran.
“Iya Pak, mereka mau menemani saya. Katanya kita adalah keluarga, jadi kalau lamaran ya harus ngundang-ngundang.” Jawab Rizqan polos.
Melihat hal tersebut Pak Gino terharu, betapa tidak karena hanya diikat pekerjaan sesama pedagang persahabatan mereka sudah bisa sejauh dan sesolid ini. Yang terkadang hal tersebut tidak bisa dimiliki para dosen atau mahasiswa yang intelektualnya lebih tinggi.
Akhirnya Rizqan bersama para rombongan berangkat menuju rumah Suci dengan tanpa membawa apapun. Ya, Rizqan hanya membawa diri dan kerabatnya serta cinta dan tekad yang ia miliki. Di sisi lain ia memiliki keyakinan kuat kalau lamaranya berhasil meski entah darimana datangnya keyakinan itu. Tidak ada kegundahan takut pulang dengan tangan hampa dalam hatinya. Nampaknya Allah sudah memberi keteguhan hati kepada Rizqan.
Sesampainya di
rumah Suci, orang tuanya menyambut kedatangan Rizqan meski dengan perasaan
heran. Bagaimana tidak, orang tua Suci sama sekali tidak mengetahui niat
kedatangan Rizqan dan tiba-tiba ia datang bersama rombongan ke rumahnya. Pak
Gino yang mewakili Rizqan menyampaikan tujuan kedatangan mereka ke sana. Orang
tua Suci terkejut ketika tujuannya itu adalah melamar anaknya. Melihat ramainya
orang yang datang ke rumahnya, orang tua Suci tidak bisa berbuat banyak atau
banyak bertanya. Akhirnya mereka langsung ke pokok permasalahan, mereka
menanyakan dengan apa Rizqan melamar Suci. Pertanyaan itu membuat Rizqan tidak
bisa berkata-kata, karena memang ia datang dengan tangan kosong meski salah
seorang temannya sudah mengingatkan kalau tradisi di sana melamar seorang
wanita setidaknya diikat dengan cincin. Tetapi beruntung Rizqan bersama Pak
Gino, ia mencoba menerangkan semuanya. Pak Gino memaparkan dengan bahasa yang
lugas dan rasionalisasi yang dapat masuk ke dalam pemikiran orang tua Suci.
Benar-benar takdir yang luar biasa seorang pedagang es buah dalam sesi
lamarannya bersama seorang dosen, jelaslah ia sangat merasa terbantu. Pak Gino
mencoba menerangkan bahwa kedatangan mereka meski tidak membawa apa-apa tetapi
serius untuk melamar Suci. Mereka jauh-jauh dari Bandar Lampung menuju ke
Kotabumi jelas adalah sebuah bentuk keseriusan tersebut. Belum lagi ditambah
ramainya rombongan yang dibawa. Mendengar hal tersebut, orang tua Suci tidak
bisa banyak berkomentar. Mereka cukup bingung menimpa perkataan seorang dosen
yang lebih cerdas secara pendidikan.
Lama orang tua Suci
berpikir, bagaimana pun juga mereka menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi tidak
mungkin harus berjodoh dengan pedagang es buah lulusan SMP. Akhirnya mereka
meminta waktu untuk berbicara dengan anaknya. Dalam pembicaraan tersebut orang
tua Suci mengembalikan keputusan kepada anaknya. Meski sang anak untuk masalah
seperti ini justru memilih apa yang menjadi pilihan orang tuanya. Akan tetapi
ada satu hal yang Suci beritahukan kepada orang tuanya. Selama seminggu
terakhir ternyata ia selalu shalat istikharah, karena sepengetahuannya ada dua
laki-laki yang berniat melamarnya. Dan yang membuat Suci yakin adalah karena
wajah Rizqan yang selalu terbayang dalam mimpinya. Suci meyakini bahwa itu bisa
jadi pertanda yang diberikan oleh Allah. Ia yakin ketika Allah sudah menetapkan
garis hidup seseorang maka tidak ada seorang pun yang dapat merubahnya.
Kecintaan Suci kepada Allah lah yang pada akhirnya menerima cinta Rizqan. Suci
sama sekali tidak melihat Rizqan sebagai pedagang es buah, atau lelaki yang
hanya lulusan SMP, ia melihat Rizqan sebagai hamba Allah yang ingin berubah dan
mendekatkan diri kepada-Nya. Suci pun akhirnya menerima lamaran Rizqan.
Mendengar keputusan itu, Rizqan serasa tidak percaya. Ia merasa bahagia yang
tidak bisa dicurahkan melalui sebuah ekspresi wajah. Dan setelah memutuskan
menerima lamaran Rizqan, orang tua Suci meminta Rizqan menikahi anaknya dalam
waktu dua minggu ke depan. Rizqan menyanggupi hal tersebut meski sebenarnya ia
tidak memiliki uang yang cukup untuk menyelenggarakan pernikahan. Akan tetapi
masalah materi bukanlah hal yang membuat seseorang harus enggan menikah. Karena
Allah Maha Kaya, ia pasti akan memberi jalan kepada setiap manusia yang
membutuhkan pertolongan-Nya. Dengan keterbatasan yang ada Rizqan ternyata
sanggup memenuhi permintaan orang tua Suci sekaligus mengakhiri penantian
Rizqan selama ini.
Sekarang rumah
tangga mereka sudah berjalan kurang lebih 2 tahun, mereka sudah memiliki bayi
yang belum berusia 1 tahun. Sedangkan Rizqan masih dengan pekerjaanya sebagai
pedagang es buah. Tapi hal terebut tidak membuat rumah tangga mereka terusik.
Cinta yang mereka bangun benar-benar kepada Allah. Suci yang sudah sarjana dan
sebagai mantan santriwati Darul Hikmah senantiasa membimbing Rizqan dalam hal
agama. Dan percaya atau tidak Rizqan benar-benar berkembang dengan semakin
banyak mengetahui tentang agama, hafalan Al Qurannya bertambah dan setahu saya
juz 30 beliau sudah kelar (yang belum kelar juz 30 hayoo terlecut untuk
menghafal, kalah dengan Mas Rizqan yang lulusan SMP lho). Kisah rumah tangga
mereka pasti penuh suka dan duka, tapi saya belum seberapa tahu masalah
detailnya. Saya berharap 5 tahun ke depan Mas Rizqan sudah punya usaha yang
sukses, dan kalau saya masih bisa bertemu nantinya ingin merangkai kisah
kehidupan beliau. Bagaimana pun juga saya masih kagum dengan kenyataan ini,
ketika ada seorang akhwat (wanita) sarjana, lulusan pondok pesantren mampu
menerima kehadiran seorang ikhwan (laki-laki) lulusan SMP, pedagang buah, dan
pernah menjalani hidup kelam di Jakarta. Tapi itulah cinta yang dilandaskan
kepada Allah, karena Allah lebih mengetahui apa yang dibutuhkan ummat-Nya. Dan
dalam pola pikir saya, rumah tangga mereka lebih bisa merasakan cinta, karena
dalam suka dan duka mereka selalu bersama, dan dalam setiap kesulitan yang saya
yakin banyak mereka temui, mereka semakin dekat kepada Allah.
Allahualam Bishowab
Allahualam Bishowab
No comments:
Post a Comment