Tak terasa waktu begitu cepat berlalu mengantarkan manusia dari satu kondisi menuju kondisi yang lain, dimana dari setiap kondisi itu menghasilkan sebuah karakter yang menunjukan satu perwujudan sikap dari seseorang. Sudah sekitar 2 minggu yang lalu kita masih berada dalam sebuah kondisi yang mengajak kita menuju karakter orang bertaqwa yakni ibadah shaum Ramadhan, oleh karena itu maka selama satu bulan yang kita tempuh itu semangatnya harus tetap membara dalam kehidupan di sebelas bulan kemudian.
Kita juga tidak pernah tahu dan tidak pernah mendapat kepastian apakah ibadah-ibadah kita selama bulan Ramadhan diterima oleh Allah SWT atau tidak. Dua ketidakpastian inilah yang membuat orang-orang shalih dan para shabat nabi berdoa selama enam bulan sejak Syawal hingga Rabiul Awal agar ibadahnya selama bulan Ramadhan diterima, lalu dari Rabiul Awal hingga sya'ban berdoa agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan berikutnya.
Para sahabat menyiapkan diri mereka selama enam bulan untuk menyambut kehadiran tamu agung bernama Ramadan. Pastinya mereka mati-matian untuk beribadah full time selama sebulan penuh itu. Layaknya bertemu dengan seorang yang dirindu, kita ingin berlama-lama bersama dengannya, menjamu, memberinya pelayanan sebaik mungkin. Dan tentunya kita akan merasakan kesedihan yang teramat dalam ketika harus berpisah dengannya. Mâ ba'da Ramadhân, inilah masa-masa yang paling mencemaskan bagi para sahabat nabi. Mereka takut akan amalan yg tertolak; puasa, qiyam yg panjang, tilawah yg berulang kali khatam, infak harta, pengorbanan jiwa raga dari satu medan perang ke perang lainnya, serta segudang amalan ibadah lainnya yg mereka lakukn selama Ramadan, semuanya itu tlh mnjadi sebuah kekhawatiran terbesar bagi diri mereka.. Mereka lebih banyak berkontemplasi, dan bermuhasabah dalam sebuah tanda tanya, “Apakah amal ibadahku di bulan Ramadan kemarin diterima oleh Allah Swt.?”
Para sahabat merawat Ramadan dalam hati mereka dengan rasa khauf dan raja'. Sekuat tenaga berusaha istiqamah dalam amalan ibadah mereka. Lengah sedikit, akan memberikan indikasi amal ibadah mereka selama Ramadan telah sia-sia. Karena di antara ciri dari diterimanya amal ibadah seseorang dalam bulan Ramadan adalah; keringanannya dalam mengerjakan kebaikan dan ibadah, serta jauhnya mereka dari melakukan kemaksiatan kepada Allah SWT. Enam bulan pasca Ramadan mereka masih bersedih memikirkan kepergian Ramadan. Mereka memohon dengan sungguh-sungguh agar amalan ibadah selama sebulan penuh itu diterima oleh Allah Swt. Sedangkan di paruh tahun sisanya, mereka kembali bergembira, bersiap diri menyambut kehadiran Ramadan, sang tamu agung yang selalu mereka rindu.
Begitulah siklus hidup para orang shalih terdahulu, renggang waktu dari Ramadan ke Ramadan berikutnya diisi dengan taqarrub ilallâh. Seakan menutup semua celah untuk futur dalam beribadah. Rindu mereka adalah rindu keimanan, pun dengan kesedihan mereka, kesedihan karena iman. Sehingga hari-hari berjalan penuh kekhusyukan, hati mereka tenang, diisi dengan mengingat Allah dalam kondisi apa pun. Karena Allah telah memberikan jaminan, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra'du:28).
Syawal berarti peningkatan. Demikianlah seharusnya. Paska Ramadhan, diharapkan orang-orang yang beriman meraih derajat taqwa, menjadi muttaqin. Hingga mulai bulan Syawal kualitasnya meningkat. Kualitas ibadah, juga kualitas diri seseorang. Bukankah orang kemuliaan seseorang tergantung pada ketaqwaannya?
إِ نَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاك .. .Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu ialah orang yang paling bertaqwa… (QS. Al-Hujurat : 13)
Akan tetapi, yang kita lihat di masyarakat justru sebaliknya. Syawal menjadi bulan penurunan.. Penurunan ibadah, juga penurunan kualitas diri. Diantara indikatornya: dibukanya tempat-tempat hiburan, masjid-masjid akan kembali sepi dari jamaah shalat lima waktu, Umpatan, luapan emosional, dan kemarahan kembali "membudaya". Bukankah ini semua bertolak belakang dengan arti Syawal? Bukankah ini seperti mengotori kain putih yang tadinya telah dicuci dengan sebaik-baiknya? Jadilah ia kembali penuh noda. Jadilah ia kembali menghitam dan semakin memburam. Fenomena ini menunjukkan kepada kita, bahwa puasa orang yang demikian tidak berhasil. Fenomena tersebut menjadi indikator yang mudah diketahui oleh siapa saja yang mau memperhatikan dengan seksama. Kita juga bisa menggunakan hadits Nabi sebagai kaidah yang seharusnya kita perhatikan sebaik-baiknya: "Barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka celakalah ia."
Lalu bagaimana amal seorang muslim di bulan Syawal? Sejalan dengan makna syawal, maka harus ada peningkatan di bulan ini. Dan peningkatan itu tidak lain adalah berangkat dari sikap istiqamah. Menetapi agama Allah, berjalan lurus di atas ajarannya.
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Maka istiqamahlah kamu, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Huud : 112)
Bentuk sikap istiqamah ini dalam amal adalah dengan mengerjakannya secara kontinyu, terus-menerus.
إِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلََّّ
Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus (kontinyu) meskipun sedikit (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka amal-amal yang telah kita biasakan di bulan Ramadhan, hendaknya tetap dipertahankan selama bulan Syawal dan bulan-bulan berikutnya. Tilawah kita yang setiap hari, Shalat malam yang sebelumnya kita selalu melaksanakan tarawih, di bulan Syawal ini hendaknya kita tidak meninggalkan shalat tahajud dan witirnya. Infaq dan shadaqah yang telah kita lakukan juga kita pertahankan.merasakan kembali kenikmatan berbuka dengan menghidupkan puasa-puasa sunnah yakni puasa yaumul baidh, puasa senin kamis atau bahkan puasa daud, meneguhkan sikap sholeh social dengan menerapkan sikap ihsan dan ikhlas karena Allah dalam menjalankan segala aktivitas. Nilai keimanan yang meliputi keyakinan, maiyatullah, keikhlasan, dan lainnya ini hendaknya tetap ada dalam bulan Syawal dan bulan berikutnya bahkan semakin meningkat. Bukan menipis tiba-tiba lalu hilang seketika!,
Allah telah memberikan kesempatan berupa satu amal khusus di bulan syawal ini berupa puasa Syawal. Ini juga bisa dimaknai sebagai tool dalam rangka meningkatkan ibadah dan kualitas diri kita di bulan Syawal ini. Dan keistimewaan puasa sunnah ini adalah, kita akan diganjar dengan pahala satu tahun jika kita mengerjakan puasa enam hari di bulan ini setelah sebulan penuh kita berpuasa Ramadhan.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun. (HR. Muslim)
Kita semua adalah para Alumni Ramadhan, dimana jiwa-jiwanya adalah jiwa-jiwa yang akan terus bersemangat untuk meneruskan apa-apa yang kita lakukan selama bulan Ramadhan. Para Alumni Ramadhan adalah manusia yang menjadikan hari-harinya di sebelas bulan kemudian kualitas ibadah dan bersikap yang sama dengan menjaga agar tetap stabil.
Ada kata-kata menarik yang menyadarkan kita akan hal ini. “Kun rabbâniyyan, wa lâ takun ramadhâniyyan” Jangan menjadi manusia Ramadan, yang kuat ibadahnya karena berada di bulan Ramadan saja, karena setelah bulan itu berlalu, ia tak akan mengalami perubahan hidup untuk menjadi lebih bertaqwa. Namun jadilah manusia pasca Ramadan yang memiliki nilai kepribadian diri, penghambaan kepada Allah yang tak kenal henti, menjadi manusia bertaqwa tanpa batas, sesuai target yg diharapkan dari penggemblengan yang dinlakukan selama sebulan. Dengan syaratnya, ia harus menjadi hamba Allah yang bobot ibadah nya terus meningkat, sekali pun ia telah beraada di luar bulan Ramadhan.
Semoga kita tidak menjadi manusi Ramadan, yang hanya optimal ibadahnya selama sebulan saja, dan free di sebelas bulan berikutnya. Tapi kita menjadi manusia rabbâniy, yang selalu mengingat Allah kapan dan dalam bagaimana pun kondisi kita, seperti karakter ulul albâb yang termaktub dalam Al Quran, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.”(QS. Al Imran: 191). Wallâhu al Musta'ân.
No comments:
Post a Comment